tips berpakaian Remaja “Funky”
22.04Remaja “Funky”
Edisi 028/Tahun I/2000
Tak
heran pula bila kemudian banyak teman-teman remaja yang mencoba tampil
funky hanya untuk disebut gaul. Mulai soal dandanan sampai soal musik.
Gaya rambut yang dicat warna-warni, atau yang dipermak seperti durian,
atawa gaya rambut yang ‘disulap’ seperti topi Romawi. Itu baru gaya
rambut, belum lagi pakaian. Jaket hitam yang ketat, celana jins yang
juga super sempit, bahkan celana cutbray yang bikin penampilan seksi
akrab dalam gaya gaul remaja sekarang. Belum lagi aksesoris lainnya.
Kuping ditindik, bahkan hidung pun ada yang nekat ditindik pula, hiasan
rantai yang gede-gede juga ikut nimbrung.
Nggak
hanya itu, tatto juga sering menghiasi tubuh anak funky. Bermacam-macam
model tattonya, dari yang ‘lucu’ sampai yang bikin ‘serem’. Dari gambar
pemandangan (idih, emangnya ada?) sampai gambar tengkorak, tapi
tengkorak ikan (hi..hi..hi..). Itu sih bukan serem, tapi lucu,
menggelikan lagi. Terlepas dari semua itu, gaya funky kerap bikin heboh,
tapi sekaligus menyebalkan. Nah, gaya remaja model begini, kamu bisa
temui di mal atawa tempat ngeceng yang memang dijejali remaja. Di sana,
berbagai gaya funky bisa kamu lihat. Dari mulai yang modis sampai yang
nggak enak dipandang mata. Tapi memang bukan soal enak dipandang atau
tidak, yang jelas, gaya funky itu memang warisan budaya Barat yang
berbahaya dan rusak. Kamu perlu tahu, bagaimana sejarah lahirnya budaya
ini. Atau tepatnya latar belakang gaya hidup funky ini.
Funky, Apaan Tuh?
Dalam
dunia gaya, banyak terjadi pembalikan makna. Kata funky yang sebenarnya
berarti busuk, mengalami pergeseran makna menjadi makna seolah positif,
yaitu semerbak mewangi (ciee…). Mendengar istilah fungky, selintas kita akan teringat salah satu jenis irama musik. Ya, seperti irama yang dibawakan James Brown atau kelompok Sly & The Family Stone di tahun 1965 – 1970-an. Kamu pasti nggak terlalu kenal, itu sih jaman bapak dan ibu kita remaja, kali ya?
Nah,
menyimak sejarah berbagai gaya busana, dunia hiburan atau musik
khususnya, memang mempunyai kaitan erat yang saling mempengaruhi,
termasuk aspek-aspek ipoleksosbud yang melatarbelakanginya (taela, berat juga nih). Kita lihat misalnya ‘ideologi’ anarchy yang dianut salah satu aliran gaya punk yang terkenal melalui sosok Johnny Rotten dari Sex Pistol. Kamu juga bisa lihat ‘ideologi’ kaum gay melalui kelompok aliran gaya busana Glam dengan irama glam rock melalui sosok David Bowie dan Gary Gliter. Atau ‘ideologi’ lingkungan dan perdamaian yang dipropagandakan kelompok Hippy melalui The Grateful Dead, CSN&Y (Crosby, Stills, Nash, Young), Frank Zappa, dan Joan Baez dengan irama musik psychedelic maupun folk.
Well, itu fakta masa lalu, bagi generasi sekarang, mungkin lebih mengenal gaya rambut dreadlock (gimbal) yang dipopulerkan aliran gaya rastafarian melalui tokoh Bob Marley dengan irama reggae. Atau gaya B-boy dan Flygirls serta Gangsta melalui irama musik Rap (yang hubungannya dengan musik, supaya bisa ‘klop’ kamu bisa baca juga Studia edisi 008/Tahun I).
Achmad Haldani D, staf pengajar Program Studi Kria Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung
terhadap kasus tersebut, menyebutnya sebagai suatu kenyataan sejarah,
gaya-gaya busana yang muncul di Barat amat kental dengan sisi perjuangan
subkultur anak muda terhadap berbagai masalah yang penuh gejolak. Seks
bebas, obat bius, ganja, rasisme, hujatan terhadap orangtua, memuja
setan, tripping dan lain-lain, adalah bagian bentuk ekspresi
‘ideologi’ yang terkadang bagi sekelompok orang sulit diterima akal
sehat, sehingga banyak di antaranya dikritik, disisihkan, atau bahkan
dikucilkan masyarakat.
‘Ideologi’
yang mereka anut pun amat beragam, dan sarat dengan cara pandang mereka
terhadap suatu nilai dan harapan. Harapan yang bisa saja didorong atas
ide masa lalu, masa kini, maupun masa mendatang. Untuk
mengkomunikasikannya, setiap gerakan membutuhkan representasi, simbol,
atau media visualisasi lain yang otentik dan khas, bahkan jika perlu
ekstrim dan radikal (ciee.. serem juga ya?). Karena itu,
nggak salah bila kita amat mengenal beberapa media dan bahasa simbol
mereka seperti dalam gaya berpakaian, gaya berdandan (tatto, cat rambut,
rias wajah, tindik, peniti, rantai, logo nazi, tengkorak dan
lain-lain), juga gaya berbicara, gaya berjalan, gaya menari,
peristilahan, sastra (sajak, novel, lirik lagu), gaya hidup, merek
pakaian, merek motor dan sebagainya. Wah, ternyata banyak juga ragamnya,
ya? Nah, mereka inilah yang disebut oleh dunia fashion sebagai fenomena gaya jalanan (street style),
Masih menurut Achmad Haldani D, funky merupakan kata sifat dari kata dasar funk yang berarti (bau) busuk atau stinky. Seperti halnya pemutar-balikan makna bad (baca: jelek, buruk atas sesuatu hal) menjadi cool (baca; keren atas sesuatu hal tadi) yang muncul di era gaya ini, istilah funk juga mengalami pergeseran makna (seolah bagi kalangan mereka) positif, yaitu semerbak wangi. Mengapa? Di tengah suasana yang serba tidak menyenangkan (tertekan, miskin, muram, kumuh, yang berhubungan dengan makna harfiah funk)
mereka justru mengekspresikannya dalam bentuk atau selera yang justru
berlawanan, seperti memainkan, menari,dan mendengarkan musik yang
berirama menyenangkan, gembira, beat yang tegas, serta erotik.
Ditambah cara berpakaian yang juga menyenangkan seperti berkesan seksi
dan gemerlap. Wuah, ‘syerem’ juga ya?
Brur,
ekspresi ini sungguh dinilai amat berlawanan dengan ekspresi kelompok
menengah kulit putih yang di saat bersamaan (pada masa itu) justru
sedang keranjingan gaya hidup Hippy yang cenderung
anti-materialistis seperti terlihat dari gaya berpakaian dan berdandan
mirip gembel atau pengembara miskin. Sekarang, gaya model begini, kamu
bisa temukan juga dengan mudah di negeri ini.
Karena motif ‘ideologinya’ berbeda (ciee..), yaitu ingin keluar dari himpitan atau kesan kemiskinan perkampungan ghetto, kelompok funk ini jelas ingin tampil dan terlihat cool dengan bergaya serba gemerlap dan berkesan mahal. Jadi, di antara musisi jazz dan orang negro Amerika, istilah funk
menjadi suatu yang bercitra positif dan kental dengan aroma kesenangan
seksual. Secara lebih luas di antara tahun 1950 sampai 1970-an gaya funk berhubungan dengan kekuatan atau daya erotik dan gairah seksual. Sementara kata sifat funky diterapkan pada suatu yang berkaitan dengan black music hingga ke soul food. Sedangkan di bidang gaya berpakaian dan cara berdandan, penerapan istilah fungky merujuk pada suatu gaya yang lahir di awal tahun 1970-an yang disebut Pimp Look (pimp =germo/mucikari) yang muncul di sekitar perkampungan kumuh orang kulit hitam (ghetto) Amerika.
Gaya
ini kira-kira serupa dengan gaya yang ditampilkan para germo dan
pekerja jalanan lainnya dalam ‘memamerkan’ angan-angan kesuksesan dan
kemakmuran mereka. Para ahli juga mensinyalir adanya kaitan logis gaya funky dengan gaya Zooties di era 1940-an yang juga berawal dari kalangan yang secara materi serba kekurangan. Gaya funky dapat kita ‘kenang’ antara lain peninggalan karakternya yang khas seperti gaya rambut AFRO (kribo), kacamata dragon fly (bulat dan besar), bahan kulit yang lembut dan tebal (suede), topi model pimpmobile atau voluminous hunting cap, celana cutbray dan sepatu dengan model hak tinggi (sekitar 12 cm). Weleh weleh tinggi amat, ya?
Gaya funky juga bisa ditemukan dalam film laga Shaft yang dibintangi Richard Roundtree di tahun 1971 (Pasti kamu belum lahir), malah muncul gaya funky yang dieksploitasi, yang diistilahkan dengan kata sindiran, blaxplotation.
Wah, ternyata memang gaya funky itu kental dengan nuansa peradaban
Barat, ya? Iya, dong, soalnya Islam nggak mengajarkan budaya model
begitu.
Islami Vs Funky
Oke
sobat, setelah tahu latar belakang gaya funky, tentu saja sebagai
seorang muslim kita wajib tahu pula pandangan Islam seputar masalah
tersebut. Bukan apa-apa, seperti yang sering kita bahas, bahwa sebagai
seorang muslim wajib terikat dengan aturan-aturan Islam. Nggak boleh
sedikit pun perbuatan yang kita lakukan diluar aturan Islam. Termasuk
dalam soal gaya hidup ini. Tingkah laku kita dalam berpakaian, bergaul,
dan berbuat harus selalu disandarkan pada aturan Islam. Mutlak, lho. Nggak bisa ditawar-tawar lagi.
Seperti
sekarang teman-teman remaja lagi keranjingan gaya funky, maka itu harus
kita ‘tanyakan’ kepada Islam, boleh apa nggak. Nggak sembarangan itu.
Nah, berkaitan dengan gaya funky ini, Islam punya pandangan, Brur, bahwa
budaya tersebut sangat bertentangan dengan aturan dan hukum-hukum
Islam. Gimana nggak, gaya funky yang kerap diekspresikan lewat dandanan,
tingkah laku, dan gaya hidup itu sama sekali tidak ‘bercitarasa’ Islam.
Semua selera Barat yang ditawarkan. Tentu itu bila dilihat dari
lahirnya budaya bejat tersebut.
Dalam soal berpakaian, Islam sudah mengatur, bahwa pakaian yang dikenakan tersebut wajib menutup aurat. Firman Allah SWT:
يَابَنِي ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ
وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى
“Hai anak Adam, Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian untuk menutup aurat kamu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (al-A’raaf: 26).
Tapi
bagaimana dengan anak funky? Wuih, rambutnya aja acak-adul begitu.
Dicat warna-warni, dipermak seperti durian, atau malah yang lebih serem
lagi rambutnya ‘disulap’ seperti topi tentara Romawi, tahu kan? Yes,
potongannya rada mirip rambut ala si BA di film The A Team, cuma kalo topi Romawi ada ‘duri’nya. Lebih jelasnya, bila kamu pernah lihat film Gladiator, kayaknya bisa kebayang deh bagaimana ‘rupa’ topi Romawi itu.
Belum
lagi pakaiannya yang amburadul banget, malah dalam keadaan tertentu
ditemukan pula gaya pakaian ‘kaum’ funky yang sulit membedakan mana
cowok dan mana cewek. Ih, gawat juga ya?
Bingung
juga memang, kalo ada anak cowok yang mempermak wajahnya dengan
kosmetik dan lebih mirip anak cewek, lalu aksesoris yang biasa dikenakan
anak cewek seperti anting, eh, dipakai pula oleh anak cowok, udah gitu
rambutnya panjang lagi, kan berabe, iya nggak? Salah-salah malah ketuker
manggil. Padahal, Brur, gaya funky model begini bisa menjerumuskan
kepada larangan menyerupai lawan jenis. Laki-laki terlarang
berpenampilan menyerupai anak cewek, begitupun sebaliknya. Imam Bukhori
meriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata: “Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak perempuan dan perempuan yang berlagak laki-laki.” Kemudian Abu Dawud meriwayatkan, bahwa Abu Hurairah r.a. berkata: “Rasulullah
saw. melaknat laki-laki yang meniru (dengan) pakaian perempuan dan
perempuan yang meniru (dengan) pakaian laki-laki.” (Riadhus Shalihin, Jilid I, hlm. 490).
Harus Dicegah
Yes,
pilihan terbaik memang kita harus menjegal atau mencegah jangan sampai
budaya funky itu mengakar dan menjasad dalam gaya hidup kita. Karena
nggak mustahil lambat laun bakal ‘mempermak’ kita menjadi berselara
Barat dalam bertingkah laku. Kalo sampai kejadian, wuah, bahaya besar,
Bung!
Celakanya,
kondisi seperti ini memang diperburuk dengan cara pandang kita yang
salah dalam menyikapi trend. Bahwa sesuatu yang dianggap baru, adalah
sebuah trend yang harus kita dijelajahi. Kita menganggap bahwa kita
harus mencobanya, bahkan bila perlu dan memungkinkan, kita akan
menganggap trend tersebut wajib diamalkan. Itu cara pandang yang salah.
Seharusnya, bila itu menyangkut urusan gaya hidup peradaban tertentu,
kita harus hati-hati dan bijak dalam bersikap. Bahkan wajib menahan diri
untuk tidak latah. Karena siapa tahu memang trend itu justru
menjerumuskan kita kepada kesalahan dan dosa. Ya, kayak kasus funky itu. Bisa
jadi 80 % pelakunya adalah remaja Islam. Apakah itu akan tetap kita
biarkan? Tentu nggak dong sayang. Kita harus mencegahnya agar tidak
menyebar dan meracuni pemikiran dan jiwa remaja. Karena tingkah laku,
sangat berhubungan erat dengan pemahaman. Bila salah memahami, nggak
mungkin tingkah lakunya benar. Catet, ya!
Yang
lebih memprihatinkan, saat ini justru kebanyakan kita diam melihat
kemunkaran yang ada. Lebih gokil lagi, sebagian dari teman-teman remaja
malah larut dalam trend yang sesat dan merasa enjoy menikmatinya. Wah,
benar-benar rusak dong kalo begitu.
Upaya
pencegahannya tentu harus menyeluruh. Memang yang pertama kali harus
disamakan adalah persepsi berpikirnya. Yang menyatakan bahwa trend
tersebut memang rusak dan berbahaya. Bila ini sudah sepakat, maka akan
mudah melangkah ke ‘pintu’ penyelesaian berikutnya. Tapi bila masih
nggak kompak dalam menilai trend tersebut, rasanya memang sulit untuk
bisa dicegah.
Harus
kompak, baik individu, masyarakat dan juga penguasa. Dalam sistem
Islam, trend funky ini nggak bakalan menjamur seperti sekarang ini.
Jangankan muncul dan berkembang, baru ‘tumbuh’ pun segera akan
dipangkas. Itulah ‘gaya’ Islam dalam menumpas kemaksiatan. Pokoknya,
nggak tangung-tanggung deh. Tentu sikap Islam seperti ini
hanya akan kita dapatkan bila Islam diterapkan sebagai akidah dan
syariat dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam. Bukan yang
lain. Jadi, nggak kelas deh tampil funky[]
0 komentar